Senin, 16 Januari 2017



SEJARAH SINGKAT
WALI SONGO DAN PARA ULAMA

Karya Tulis ini disusun sebagai salah satu ujian praktek Bahasa Indonesiayang diampu oleh Bp.Samsul Rizal




Oleh :
Fatah Ali Nurdin
Gian Romansa Lilang Kacita
Hanif Syukrillah
Khasfi Khafarifas Ainul Khak
Krisna Rayi Agustian





SMP TAKHASSUS AL-QUR’AN
KALIBEBER MOJOTENGAH WONOSOBO
2013/2014
PENGESAHAN


Karya tulis  : Kelompok 26
Judul           : Sejarah Singkat Para Wali dan Ulama
   Telah disahkan oleh pembimbing SMP Takhassus Al-Qur’an Kalibeber, Wonosobo
Pada         :
Tanggal   :
Hari         :
Tempat   :
Dan dapat di terima sebagai kelengkapan Ujian Akhir Sekolah dalam rangka     menyelesaikan Study Progam SMP.


Wonosobo,           Maret 2014


Wali Kelas                                                                        Pembimbing


Anggih Dwi Priyanto,S.Pd Suseno Alfin,S.E


Mengetahui,


Kepala Sekolah


M. Ngafan Mastur,S.S


MOTTO


  • ∙ (سورة الإسرء٢٧)إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا إِخوَانَ الشَّيَاطِيْنِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوْرًَا
Sesungguhnya orang yang menghambur-hamburkankan, mereka menjadi temannya syetan, dan syetan atu kufur kepada Tuhannya.


  1. Belum tentu kita hebat dan belum tentu kata-kata kita benar-benar terjadi.
  2. Biarlah waktu yang akan menunjukkanbermanfaat baginya.
  3. Mohonlah petunjuk-Nya.
  4. Sahabat yang sejati adalah orang yang dapat berkata benar kepada anda, bukan orang yang hanya membenarkanAllah mencintai orang yang cermat dalam meneliti soal-soal yang meragukan dan yang tidak membiarkan akalnya.










KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya serta taufik dan hidayahnya. Serta salam bagi Nabi Muhammad S.A.W beserta keluarga, Shohabat dan para pengikutnya.
Penulis mengucapkan syukur Alhamdullilah karena berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak maka karya tulis ini dapat terselesaikan. Adapun beberapa pribadi yang sangat berbeda dalam menyelesaikan karya tulis ini yang dapat penulis disini ialah.
  1. Bp. M. Ngafan Mastur, S.S selaku kepala sekolah SMP Takhassus Al-Qur’an Kalibeber, Mojotengah, Wonosobo yang telah berkenan memberikan do’a restu guna melakukan ziarah wali sanga dan ulama’ ulama’.
  2. Bp. Anggih Dwi Priyanto, S.Pd selaku wali kelas IX H SMP Takhassus Al-Qur’an Kalibeber, Mojotengah, Wonosobo yang telah berkenan memberikan bimbingan kepada penulis.
  3. Bp. Suseno Alfin selaku guru pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis.
  4. Teman-temanku yang memberikan support kepada penulis sehingga terselesainya karya tulis ini.
Dalam menyusun karya tulis ini telah diupayakan semaksimal mungkin agar mendekati sempurna namun demikian karya sifat manusia yang tak luput dari adanya kekurangan, maka tentu saja masih terdapat kekurangan. Untuk itu tegur sapa serta kritik dan saran yang bersifat membangun akan diterima dengan senang hati.







DAFTAR  ISI


HALAMAN JUDUL…………………………………………………...…………………………ii
PENGESAHAN………………………………………………………………………………….iii
MOTTO……………………………………………………………..……………………………iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….v
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..vi
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………..1
  1. Latar Belakang…………………………………………………………………………….1
  2. Tujuan……………………………………………………………………………………..1
  3. Metode………………………………………………………………………………….....1
  4. Sistematika Penulis………………………………………………………………………..2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………3
  1. Sejarah Singkat Para Wali Dan Ulama……………………………………………………3
  1. KH. Muntaha Al-Hafidz ……………………………………………………………..…3
  2. Raden Patah……………………………………………………………………………..4
  3. KH. Kholil Bangkalan…………………………………………………………………..6
  4. Sunan Gresik…………………………………………………………………...………12
  5. Sunan Ampel………………………………………………………………..………….13
  6. Sunan Giri…………………………………………………………………..………….14
  7. Sunan Bonang………………………………………………………………………….15
  8. Sunan Kalijaga…………………………………………………………...…………….16
  9. Sunan Gunung Jati…………………………………………………….……………….17
  10. Sunan Drajat……………………………………………………………………………18
  11. Sunan Kudus………………………………………………………...…………………19
  12. Sunan Muria………………………………………………………..…………………..20
  1. Pengaruh Peninggalan Para Wali dan Ulama Bagi Masyarat……………………………21
  1. Pengaruh Bersifat Fisik…...……………………………………………………………21
  2. Pengaruh Non Fisik…………………………………………………………………….23
  1. Sifat Para Wali dan Ulama yang Patut Diteladani Dalam Kehidupan Beragama Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara………………………………………………24


BAB III PENUTUP……………………………………….,………………………....………...25
  1. Kesimpulan…...………………………………………………………………………….25
  2. Kesan Dan Pesan……………………………...………………………………...……….25

Daftar Pustaka








BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Walisongo adalah nama suatu dewan mubaligh yang ada dipulau jawa. Apabila salahsatu anggota wali tersebut meninggal dunia maka akan diganti dengan wali lainnya berdasarkan musyawarah. Itulah sebabnya disamping sembilan wali yang sudah lazim dikenal kita masih mengenal nama wali seperti : Syeh subakir, Sunan Bayat, Sunan Geseng dan lain-lain.Dengan nama Walisongo” berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang Dan Sunan Muria anak Sunan Kalijaga.

  1. Tujuan Penulisan
    1. Mengetahui dengan jelas peranan Wali Songo dalam peradaban Islam di Indonesia.
    2. Memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.

  1. Metode
Secara konseptual metode dakwah walisongo biasa disebut dgn istilah ”Mau’izatul hasanah wa mujahadah billati hiya ahsan.” Metode ini biasa digunakan untuk tokoh-tokoh khusus (pemimpin), misalnya para bupati, adipati, para raja, maupun para tokoh-tokoh masyarakat setempat. Dasar metode ini adalah QS An-Nahl (16) : 125, yang artinya :”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Para tokoh khusus itu diperlakukan secara personal, dihubungi secara istimewa. Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman tentang islam, peringatan-peringatan secara lemah lembut, tukar pikiran dari hati ke hati dan penuh toleransi. Ini yang dimaksud Mau’izatul Hasanah. Namun apabila cara tersebut belum juga berhasil, barulah menggunakan cara berikutnya, yakni Al Mujadalah billati hiya ihsan.
Cara kedua ini diterapkan kepada tokoh yang secara terus terang menunjukkan sikap kurang setuju terhadap islam. Rangkain cara ini bisa dilihat ketika Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan kawan-kawan berdakwah kepada Arya Damar dari Palembang. Berkat keramahan dan kebijakan Raden Rahmat, maka Arya Damar kemudian masuk islam bersama istrinya. Dan tak lama kemudian diikuti pula oleh hampir segenap anak negerinya.
Demikian pula halnya ketika beliau berdakwah terhadap Prabu Brawijaya. Ketika mendengar wejangan yang demikian bagus dari Sunan Ampel, sesunggunya terasa sulit bagi Prabu Brawijaya untuk menolak. Tapi karena beliau berkedudukan sebagai raja, tentu banyak pertimbangan yang membuatnya tidak mudah begitu saja menerima pendapat orang lain, terutama dalam hal keagamaan. Meski repot mengelak, akhir nya beliau menolak secara halus, dengan alasan bahwa sebagai raja dia terikat adat kebiasaan kerajaan dan tradisi rakyatnya tidak bisa diabaikan begitu saja.
Namun lain halnya dengan sang permaisuri yang tidak mempunyai beban berat. Prabu tidak keberataan bila permaisuri memang berkehendak masuk Islam.

  1. Sistematika Penulisan
BAB I adalah Bab yang menerangkan tentang PENDAHULUAN yang berisikan tentang : Latar Belakang Masalah, Tujuan, Metode, dan Sistematika Penulisan.
BAB II adalah Bab yang menerangkan tentang PEMBAHASAN yang berisikan tetang : Sejarah Perjuangan Ulama dan Para Wali, Pengaruh Peninggalan Ulama dan Para Wali, Sifat Ulama/Para Wali yang patut di teladani dalam kehidupan Beragama, Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.
BAB III adalah Bab yang menerangkan tentang PENUTUP yang berisikan tentang : Kesimpulan, Kesan dan Pesan.
Yang terakhir adalah DAFTAR PUSTAKA yang membahas tentang orang yang membuat suatu Karya yang isinya berasal dari kata (NATAJUKOPEN) dan ada juga tentang alamat-alamat yang di tuju untuk menemukan suatu permasalahan yang akan di muat dalam pembuatan Karya Ilmiah ini.
Mungkin cuma ini yang ada dalam Karya Ilmiah ini apabila ada kekurangan Kami meminta maaf atas apa yang kami kerjakan.













BAB II
PEMBAHASAN

  1. Sejarah Singkat Ulama’ dan Para Wali
  1. KH Muntaha Al-Hafidz
K.H. Muntaha adalah putra KH Asy‘ari bin KH Abdurrahim bin K. Muntaha bin K. Nida Muhammad. Ibunya bernama Hj. Syafinah. Ia lahir pada 9 Juli 1912 di Kelurahan Kalibeber, Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, dan wafat pada hari Rabu, 29 Desember 2004 dalam usia 92 tahun. Sampai akhir hayatnya KH Muntaha pernah mempersunting lima orang istri, yaitu Ny. Hj. Saudah dari Wonokromo Wonosobo, Ny. Hj. Maryam dari Parakan Temanggung, Ny. Hj. Maijan Jariyah Tohari dari Kalibeber, Ny. Hj. Hinduniyah dari Kalibeber Mojotengah, dan Ny. Hj. Sahilah dari Munggang Mojotengah.
K.H. Muntaha menuntaskan hafalan Al-Qur'an saat berumur 16 tahun di Pondok Pesantren Kauman, Kaliwungu, Kendal, di bawah asuhan KH Usman. Setelah selesai menghafal Al-Qur'an ia memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur'an di Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak asuhan KH Munawwir ar-Rasyad. Selanjutnya KH Muntaha berguru kepada KH Dimyati Termas di Pacitan, Jawa Timur, dan pada tahun 1950 kembali ke Kalibeber untuk melanjutkan estafet kepemimpinan ayahnya dalam mengasuh Pondok Pesantren al-Asy‘ariyyah. Berbagai ide KH Muntaha terimplementasikan selama memimpin pondok. Ide di bidang pendidikan tampak dengan munculnya berbagai unit pendidikan, antara lain Taman Kanak-kanak Hj. Maryam, Madrasah Diniyah Wustho, Madrasah Diniyah ‘Ulya, Sekolah Madrasah Salafiyah al-Asy‘ariyyah, Tahfizul Qur'an, SMP Takhassus Al-Qur'an, SMU Takhassus Al-Qur'an, SMK Takhassus Al-Qur'an, dan Universitas Sains Al-Qur'an (UNSIQ). KH Muntaha adalah penggagas ditulisnya Mushaf Al-Qur'an Akbar Wonosobo, yang dua di antaranya kini menjadi koleksi Bayt Al-Qur’an &Museum Istiqlal, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Ia membentuk “Tim Sembilan” untuk menyusun tafsir tematik yang diberi judul “Tafsir al-Muntaha”.
Sanad tahfiznya, yaitu KH Muntaha dari KH Usman Kaliwungu/KH Munawwir Krapyak/KH Muhammad Dimyati Termas, dari Abdul Karim bin Abdul Badri, dari Isma‘il Basyatie, dari Ahmad ar-Rasyidi, dari Mustafa bin ‘Abdurrahman, dari Syekh Hijazi, dari ‘Ali bin Sulaiman al-Mansuri, dari Sultan al-Muzani, dari Saifuddin ‘Ata'illah al-Fudali, dari Syahadah al-Yamani, dari Nasruddin at-Tablawi, dari Imam Abi Yahya Zakariya al-Mansur, dari Imam Ahmad as-Suyuti, dari Abu al-Khair Muhammad bin Muhammad ad-Dimasyqi al-Mansur bin al-Hizrami, dari Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdul-Khaliq, dari Abu al-Hasan Ali bin Suja‘ bin Salim bin Ali bin Musa al-‘Abbasi, dari Abu al-Qasim asy-Syatibi as-Syafi‘i, dari Abu Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Huzail, dari Abu Dawud Sulaiman Ibnu Majah al-Andalusi, dari Abu ‘Umar ‘Usman Sa‘id ad-Dani, dari Abu al-Hasan Tahir, dari Abu al-‘Abbas Ahmad bin Sahl bin al-Fairuzani al-Asynani, dari Abu Muhammad ‘Ubaid bin Asibah bin Sahib al-Kufi, dari Abu ‘Umar Hafs bin Sulaiman bin al-Mugirah al-Asadi al-Kufi, dari ‘Asim bin Abi Najud al-Kufi, dari Abu ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin al-Habib Ibnu Rabi‘ah as-Salam, dari ‘Usman bin ‘Affan/Ali bin Abi Talib/Zaid bin Sabit/‘Abdullah bin Mas‘ud/Abu Bakar/‘Umar bin al-Khattab, dari Rasulullah, dari Allah melalui perantara Jibril.
Murid-murid KH Muntaha Wonosobo, antara lain KH Mufid Mas‘ud (PP Sunan Pandanaran, Yogyakarta), KH Umar Bantul, KH Syakur Brebes, KH Sholihin Pekalongan, KH Musta‘in Madang, KH Luthfi Cilalap, KH Nidzamuddin Kendal, KH Hubullah Cirebon, KH Abdul Halim Wonosobo, KH Ahmad Ngisom Banjarnegara, dan KH Yasin Pati.
  1. Raden Patah
Raden Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit dari seorang selir Cina. Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Tapi pada saat itu selir Cina sedang hamil, Setelah melahirkan Raden Patah, putri Cina dinikahi Arya Damar, melahirkan Raden Kusen. Nama asli Raden Patah adalah Jin Bun. Arya Dilah adalah nama lain Arya Damar, ayah angkat Raden Patah sendiri. Nama asli selir Cina adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong.
Raden Patah Mendirikan Demak
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi bupati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren. Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.
Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara. Nama Demak sendiri diambil dari bahasa Jawa yaitu “Demek” yang artinya tanah becek, karena pada saat itu Glagah Wangi dibangun diatas tanah yang becek atau berair.
Perang Demak dan Majapahit
Perang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah Babad Tanah Jawi. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Namun sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit. Brawijaya moksa dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri menduduki takhta Majapahit selama 40 hari. Apakah Raden Patah pernah menyerang Majapahit atau tidak, yang jelas ia adalah raja pertama Kesultanan Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama/ Sultan Syah Alam Akbar/ Sultan Surya Alam. Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka", karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.
Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama lain, sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam.
Raden Patah juga tidak mau memerangi umat Hindu dan Buddha sebagaimana wasiat Sunan Ampel, gurunya. Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit, hal itu dilatarbelakangi persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga memberitakan kalau pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.
Keturunan Raden Patah
Menurut naskah babad tanah Jawa, Raden Patah memiliki tiga orang istri. Yang pertama adalah putri Sunan Ampel, menjadi permaisuri utama, melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana, yang masing-masing secara berurutan kemudian naik takhta, bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana. Istri yang kedua seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada pemerintahan Sultan Trenggana berjasa menaklukkan Sumenep. Istri yang ketiga adalah putri bupati Jipang, melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas Nyawa. Ketika Raden Patah meninggal, Raden Kikin dan Raden Trenggana bersaing memperebutkan takhta. Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra sulung Raden Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawata, di tepi sungai. Oleh karena itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya bunga yang gugur di sungai.
  1. Kholil Bangkalan
Hari Selasa, 11 Jumada Al-Tsaniyah 1235 H atau 1820 M. ‘Abd Al-Latif, seorang kiai di Kampung Senenan, desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan,Kabupaten Bangkalan, Ujung Barat Pulau Madura; merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Khalil.
Kiai ‘Abd. Al-Latif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin ummat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai meng-adzani telinga kanan dan meng-iqamati telinga kiri sang bayi, Kiai ‘Abdul Latif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
K.H. Khalil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, K.H. ‘Abd Al-Latif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah ‘Abd Al-Latif adalah Kiai Hamim, anak dari Kiai ‘Abd Al-Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kiai Muharram bin Kiai Asra Al-Karamah bin Kiai ‘Abd Allah b. Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau Kiai ‘Abd Al-Latif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa, bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Kholil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850–an, Kholil muda berguru pada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban. Dari Langitan, Kholil nyantri di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Dari sini Kholil pindah lagi ke Pesantren Keboncandi, Pasuruan.
Selama di Keboncandi, Kholil juga belajar kepada Kiai Nur Hasan yang masih terhitung keluarganya di Sidogiri. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Khalil rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin; dan ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.
Sebenarnya, bisa saja Kholil tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kiai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Kholil sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani. Karena, Kiai ‘Abd Al-Latif, selain mengajar ngaji, ia juga dikenal sebagai petani dengan tanah yang cukup luas, dan dari hasil pertaniannya itu (padi, palawija, hasil kebun, durian, rambutan dan lain-lain), Kiai ‘Abd Al-Latif cukup mampu membiayai Kholil selama nyantri.
Akan tetapi, Khalil tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Khalil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik inulah Khalil memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Kemandirian Khalil juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Khalil tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Khalil memutar otak untuk mencari jalan ke luarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Khalil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Khalil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya, dari situlah Khalil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M., saat usianya mencapai 24 tahun, Khalil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Khalil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Khalil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Khalil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Khalil belajar pada para syekh dari berbagai mazhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat di sembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syekh yang bermazhab Syafi’i.
Kebiasaan hidup prihatinnya pun, diteruskan ketika di Tanah Arab. Konon, selama di Mekkah, Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Khalil antara lain: Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.
Padahal, sepengetahuan teman-temannya, Kholil tak pernah memperoleh kiriman dari Tanah Air, tetapi Kholil dikenal pandai dalam mencari uang. Ia, misalnya, dikenal banyak menulis risalah, terutama tentang ibadah, yang kemudian dijual. Selain itu, Kholil juga memanfaatkan kepiawaiannya menulis khat (kaligrafi). Meskipun bisa mencari uang, Kholil lebih senang membiasakan diri hidup prihatin. Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya) , Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqih dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia-pun dikenal sebagai salah seorang Kiai yang dapat memadukan ke dua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Khalil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Kiai Khalil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Kiai Khalil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Kiai Khalil di samping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf ), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Kiai Khalil lebih dikenal.

Geo Sosiologi Politik
Pada masa hidup Kiai Khalil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah Madura. Kiai Khalil sendiri dikenal luas sebagai ahli Tarekat; meski pun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Kiai Khalil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van Bruinessen(1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Kiai Khalil belajar kepada Kiai ‘Abd Al-Azim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah), tetapi, Martin masih ragu, apakah Kiai Khalil penganut Tarekat tersebut atau tidak?
Masa hidup Kiai Khalil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Khalil melakukan perlawanan; pertama, ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Kiai Khalil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu di antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng.
Cara yang kedua, Kiai Khalil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang, pun Kiai Khalil tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Khalil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Khalil, malah membuat pusing pihak Belanda; karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Kiai Khalil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Kiai Khalil untuk di bebaskan saja.

Kiprahnya dalam Pembentukan NU
Peran Kiai Khalil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi, hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, K.H. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digarisbawahi bahwa Kiai Khalil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada K.H. Hasyim sendiri.
Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai muda yang cukup ternama pada waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah.Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang pendidikan dan politik.
Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling berpengaruh pada saat itu.
Namun, Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharahuntuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara itu, Kiai Khalil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.
“Saat ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.” Kata Kiai Khalil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat ini: Wama tilka biyaminika ya musa, Qala hiya ‘ashaya atawakka’u ‘alaiha wa abusyyu biha ‘ala ghanami waliya fiha ma’aribu ukhra. Qala alqiha ya musa. Faalqaha faidza hiya hayyatun tas’a. Qala Khudzha wa la takhof sanu’iduha sirathal ula wadhumm yadaka ila janahika takhruj baidha’a min ghiri su’in ayatan ukhra linuriyaka min ayatil kubra.” Pesan Kiai Khalil.
As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Khalil datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya.
“Kiai, saya diutus Kiai Khalil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.
“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.
“Ada Kiai,” jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Khalil.
Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Kiai Khalil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikanJam’iyah semakin dimatangkan.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.
“Kiai, saya diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad.
“Kiai juga diminta untuk mengamalkan Ya Jabbar, Ya Qahhar (lafadz asma’ul husna) setiap waktu,” tambah As’ad.
Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Khalil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud.
Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.

Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Khalil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Kiai Khalil, seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.




Tarekat dan Fiqih
Kiai Kholil adalah salah satu Kiai yang belajar lebih daripada satu Madzhab saja. Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih mendalami Madzhab Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh.
Pada masa kehidupan Kiai Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain.
Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Kiai Khalil dalam tarekat, terbukti bahwa Kiai Khalil dikenal pertamakali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dab juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di sisi lain, Kiai Khalil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat menggabungkan tarekat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Kiai Khalil.
Memang, Kiai Khalil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Khalil. Namun demikian, perbedaan antara Kiai Khalil dengan kebanyakan Kiai yang lainnya; bahwa Kiai Khalil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Kiai Khalil justru meletakkan dan menggabungkan antara ke duanya (tarekat dan Fiqh).
Dalam penggabungan dua hal ini, Kiai Khalil menundukkan tarekat di bawah Fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiriyaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Kiai Khalil tersebut.
Peninggalan
Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya Kiai Khalil; akan tetapi Kiai Khalil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Kiai Khalil diantaranya:
Pertama, Kiai Khalil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahanBelanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Kiai Khalil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebuireng), Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri Pesantren Tambakberas) , Kiai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai Khalil, banyak murid-murid yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua, selain Pesantren yang Kiai Khalil tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat.
K.H. Muhammad Khalil, adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Kiai Khalil, yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan Kiai Khalil. Beliau wafat pada 1825 (29 Ramadhan 1343 H) dalam usia yang sangat lanjut, 108 tahun.

  1. Sunan Gresik
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi. Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

  1. Sunan Ampel
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

  1. Sunan Giri

Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik.
Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.

  1. Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

  1. Sunan Kalijaga
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.

  1. Sunan Gunung Jati
 Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

  1. Sunan Drajat
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M.
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.

  1. Sunan Kudus
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

  1. Sunan Muria
 Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

  1. PENGARUH PENINGGALAN PARA WALI DAN ULAMA BAGI MASYARAKAT
  1. Pengaruh Bersifat Fisik
Pengaruh Islam memberikan corak khusus terhadap kebudayaan bangsa Indonesia. Sampai sekarang pengaruh kebudayaan bercorak Islam masih dapat ditemukan. Peninggalan-peninggalan sejarah bercorak Islam, antara lain masjid, makam, seni ukir, dan kesusastraan.
  1. Masjid
Masjid adalah tempat untuk beribadah umat Islam. Pada umumnya, setiap kerajaan Islam mempunyai peninggalan sejarah berupa masjid. Contoh peninggalan sejarah berupa masjid adalah sebagai berikut:
  • Masjid Agung Demak yang didirikan oleh Walisanga. Masjid ini merupakan peninggalan Kerajaan Demak.
  • Masjid Baiturrahman merupakan peninggalan Kerajaan Aceh, Masjid ini dibangun pada tahun 1879–1881.
  • Masjid Agung Banten merupakan peninggalan Kerajaan Banten. Masjid ini didirikan Sultan Ageng Tirtayasa.
  • Masjid Kudus terdapat di Kudus, Jawa Tengah yang didirikan oleh Sunan Kudus.
  1. Makam
Makam merupakan tempat untuk mengubur orang yang sudah meninggal. Letak makam umumnya berada di lereng-lereng bukit. Akan tetapi banyak juga yang berada di tempat datar. Misalnya Makam Sultan Malik as Shaleh dan Sultan Iskandar Muda (di NAD), Makam Maulana Malik Ibrahim (di Gresik, Jawa Timur), serta makam rajaraja Gowa Tallo (diMakassar,SulawesiSelatan).


  1. Keraton
Keraton atau istana merupakan bangunan yang luas untuk tempat tinggal raja dan keluarganya. Beberapa keraton atau istana yang merupakan peninggalan kerajaan Islam adalah sebagai berikut.
  • Keraton Kasunanan Surakarta (Jawa Tengah).
  • Kasultanaan Jogjakarta (Jogjakarta).
  • Kasepuhan dan Kanoman Cirebon (Jawa Barat).
  • Kasultanan Ternate (Maluku Utara).
  • Kasultanan Deli (Sumatra Utara).
  1. Seni Ukir
Seni ukir yaitu lukisan, gambar, atau hiasan yang ditorehkan/dipahatkan pada kayu, batu, logam, dan lain sebagainya. Contoh seni ukir terdapat pada masjid Mantingan (Jepara), ukiran kayu dari Cirebon, ukiran pada makam (Gunongan) di Madura, ukiran pada gapura makam Sunan Pandanaran (Klaten), dan gapura makam Sendang Dhuwur (Tuban).
  1. Aksara, Kaligrafi, dan Naskah
Aksara yaitu sistem tanda-tanda grafis yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Berikut ini peninggalan sejarah yang berupa aksara.
  • Aksara Jawi (Arab Melayu), yaitu aksara Arab yang terdapat di Sumatra dan Semenanjung Malaka.
  • Aksara Pegon yaitu aksara Arab dalam bahasa Sunda dan Jawa.
  • Aksara Arab gundul yaitu aksara Arab tanpa disertai baris dan harakat.
Kaligrafi yaitu seni menulis indah menggunakan huruf Arab. Naskah adalah karangan asli seseorang yang masih berbentuk tulisan tangan. Naskah-naskah yang ditemukan rata-rata berbahasa Arab.
  • Gharib al Hadist merupakan kumpulan hadis. Disusun oleh Abu Ubaidah Alqassim bin   Sallam. Naskah ini tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
  • Naskah yang disusun oleh Abu Qurairah berisi tentang tauhid. Naskah ini tersimpan di British Museum London.
Seni Pertunjukan, Budaya, dan Tradisi Seni pertunjukan memiliki beberapa macam bentuk. Misalnya tarian, musik, atau lakon tertentu semacam wayang. Berikut ini contoh seni pertunjukan.
  • Seni tari: Saman, Seudati, Zapin, dan Rudat.
  • Seni musik: rebana, orkes, dan gambus.
  • Seni suara: qasidah dan shalawat.
  • Seni pakeliran: wayang Menak (ceritanya dari Persia)
  • Adat istiadat: pakaian adat, upacara adat, dan lain-lain.
  1. Pengaruh Bersifat Non Fisik
Perubahan yang paling menonjol diantara yang lain mengenai pengaruh peninggalan yang bersifat non fisik adalah  keadaan sosial masyarakatnya.Keadaan sosial masyarakat sebelum Islam masuk menggunakan tradisi budaya pra-Hindu ada kecenderungan hanya menyentuh kelompok para raja  dan para bangsawan. Terlebih-lebih masyarakat pedesaan hidupnya tetap sebagai petani sedangkan masyarakat yang ada di daerah pantai tetap sebagai pedagang. Karena pengaruh Islam masuk melalui jalur perdagangan, maka daerah pantailah yang mengalami perubahan menjadi pelabuhan dagang atau kota dagang. Dalam masyarakat kota, baik kota pelabuhan maupun kota kerajaan dapat digolongkan menjadi empat golongan yaitu:
  1. Golongan raja dan keluarganya.
  2. Golongan Elite, yaitu sekelompok masyarakat yang mempunyai kedudukan terkemuka di lingkungannya dan mempunyai martabat tinggi. Mereka terdiri dari golongan bangsawan, priyayi, tokoh agama.
  3. Golongan non Elite, yaitu
golongan masyarakat yang jumlahnya terbesar atau merupakan rakyat kebanyakan. Mereka terdiri dari para petani, pedagang, nelayan, seniman, prajurit dan sebagainya.
  1. Golongan hamba sahaya, kelompok ini adalah kelompok masyarakat paling bawah disebut juga budak. Mereka mempunyai kedudukan ini karena beberapa faktor antara lain: seseorang yang tak mampu membayar hutang maka mereka menyerahkan kelurga ataupun dirinya untuk menjadi budak, para tawanan perang, dan diperoleh dari perdagangan budak.
Pendidikan Agama Islam pada masa ini telah dijarkan pada anak-anak, dimana pada sore hari mereka diberikan pendidikan mengaji. Anak-anak datang kepada orang yang telah fasih membaca Al Quran untuk belajar membaca. Masa ini juga dikenal dengan pondok pesantren yang memiliki 3 elemen yaitu guru kyai, santri, dan masjid. Mereka belajar yang belajar pesantren dibedakan atas dua macam. Pertama santri kalong yaitu santri tempat guru lansung dari rumahnya karena jaraknya dekat, kedua santri mukim mereka adalah anak-anak dewasa yang karena tinggalnya jauh dari guru mengaji maka ia menetap di lingkungan pondok pesantren. Yang terakhir adalah yang paling berkesan karena mereka lebih banyak menggunakan wantu untuk  belajar di pesantren. Pengajaranya dilakukan dengan dua sistem yaitu sorongan dan bandongan. Sorongan adalah apabila seorang santri secara individual belajar pada kyai, ustadz, tertentu atau santri senior untuk membaca kitab agama, baik untuk tahap pengenalan atau pedalaman. Dalam sistem bandongan atau weton para santri belajar dari kyai atau ustadz. Mereka membentuk sebuah kelompok yang mengelilingi kyai atau ustadz yang membaca, menterjemahkan dan menjelaskan kitab agama tertentu dan secara berangsur sistem yang dipakai mengarah pada sistem klasikal dimana seorang ustadz menghadapi sekaligus santri dalam ukuran kelas.

  1. Sifat ulama’ dan para wali yang Patut Diteladani dalam Kehidupan Beragama,  Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
Dalam kehidupan beragama tentulah mereka termasuk tingkatan kakikat,dan dalam bermasyarakat , berbangsa, dan bernegara mereka tidak pernah yang namanya menyerah tentu mereka bersikap sabar dan juga tidak menggunakan kekerasan mereka menggunakan kesabaran dan kehalusan untuk menghadapi para masyarakat.




BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Wali Songo adalah kelompok ulama yang brejumlah sembilan orang. Mereka menyiarkan agama Islam di tanah Jawa. Selain itu, mereka juga berpengaruh besar dalam kehidupan politik pemerintahan.
Adapun nama-nama Wali Songo tersebut ialah sebagai berikut:
Syiekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Sunan Ampel
Sunan Giri
Sunan Bonang
Sunan Kalijag
Sunan Kudus
Sunan Drajad
Sunan Muria
Sunan Gunung Jati
Dalam menyiarkan Islam mereka menggunakan kesenian dan budaya masyarakat setempat. Sehingga masyarakat merasa tidak asing dan lebih komunikatif. Usaha ini membuahkan hasil, tidak hanya mengembangkan budaya Islam, tetapi juga memperkaya kandungan budaya Jawa.
  1. Kesan dan Pesan
Dunia ini hanya terdiri atas tiga hari: Kemarin, ia telah pergi bersama dengan semua yang menyertainya. Besok, engkau mungkin tak akan pernah menemuinya. Hari ini, itulah yang kau punya, jadi beramallah di sana.” – Hasan al Bashri
“Kematian yg paling mulia ialah matinya para syuhada
Cukuplah maut sebagai pelajaran dan keyakinan sebagai kekayaan”

  “Kekuatan terbesar manusia ada dalam diri kita yaitu cinta dan benci sesuatu yang dapat merubah manusia menjadi sangat luar biasa ketika kita memiliki sebuah rasa cinta dan rasa sakit itu adalah modal awal seseorang untuk dapat meubah hidupnya”.



Daftar Pustaka

Mukhlis, PaeEni. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Budiono Hadi, Sutrisno. 2009. Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa. Yogyakarta: GRAHA Pustaka
Fatah, syukur. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra
 Ridin, Sofwan. Dkk. 2004.  Islamisasi Islam di Jawa Walisong, Penyebar Islam di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

  • http://zulfanioey.blogspot.com/2008/12/peran-walisongo-dalam-penyebaran-islam.html,16-04-2013, 08.30
  • http://id.shvoong.com/humanities/history/2183822-peranan-walisongo-dalam-penyebaran agama/#ixzz2Qgi7upKQ, 16-04-2013, 08.45

1 komentar:

  1. Casino Site | Casino - Casino Website
    If you are searching kadangpintar for Casino site 카지노사이트 with a septcasino gambling site in mind, check out this review of this new online casino site, Casino Site. Rating: 3.8 · ‎2 reviews

    BalasHapus